Sejarah Dukuh Turen (Turen Tlobong Delanggu)
Dukuh Turen saat ini merupakan bagian dari
kelurahan/desa Tlobong, Delanggu, Klaten. Dukuh Turen sendiri ada
beberapa versi asal-usul atau sejarah yang berbeda, ada yang menyebut Turen berasal
dari kata Turi, ada yang menganggap karena pernah terdapat Watu Leren (batu
yang beristirahat), dan ada juga yang menyebut dari kata Turu atau Turan karena
bentuknya seperti Mbah Semar yang sedang tidur atau tiduran (turan). Mana yang benar?
[Jika anda memiliki tulisan minimal terdiri dari 600 kata, mengenai sejarah dukuh atau desa, dan merupakan tulisan anda sendiri, serta ingin anda share lewat situs ini, bisa anda kirim kepada kami lewat SINI.]
[Baca Juga: Sejarah Delanggu (Versi R Djojomartono)]
Di dukuh
Turen, makam yang paling tua atau makam yang pertama yaitu makam dari Ki Demang
R. Bongso Wijaya (Bongso Wijoyo). Beliau hidup di masa Susuhunan Pakubuwana
VI (PB VI) Surakarta, dan merupakan anak buah dari Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Berdasarkan cerita, beliau datang dan membabat dukuh Turen setelah Perang Jawa berakhir, kemungkinan sekitar tahun 1830M. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Dukuh Turen sudah berdiri dari tahun 1830 Masehi.
TUREN: TEMPAT TANAMAN TURI
Sebuah sumber menyebutkan bahwa nama Turen berarti semak-semak tanaman Turi atau dengan kata lain tempat yang ditumbuhi banyak tanaman Turi. Menurut bahasa yang sampai sekarang berkembang di kalangan jawa bahwa penyebutan kumpulan sesuatu (jamak) akan merubah akhiran kata; jika berakhiran 'i' biasanya menjadi akhiran 'en'. Seperti 'dami' menjadi 'damen', 'wiji' menjadi 'wijen', atau 'ragi' menjadi 'ragen'. Sedangkan jika di bahasa Indonesia, 'Turi' akan menjadi 'Turian' atau 'Turinan' yang artinya sama seperti 'Turen'. Maka dari itu 'Turi' akhirnya menjadi 'Turen' yang berarti kumpulan tanaman Turi.
Turi sendiri adalah tanaman yang
menghasilkan bunga atau kembang Turi yang biasa ditambahkan sebagai campuran
pecel. Tumbuhan ini biasanya tumbuh ke atas hingga dapat mencapai 10 meter
tingginya. Tanaman ini biasanya akan terus meninggi hingga 4-5 meter barulah
akan memunculkan cabang batang. Bunga Turi memiliki rasa yang gurih, dan
biasanya berwarna putih namun ada juga yang berwarna merah.
Saat ini, di dukuh Turen sama sekali tidak
terlihat atau tidak ada tanaman Turi ini. Hal ini mungkin salah satunya
disebabkan karena tanaman ini usianya tidak terlalu panjang dan tidak ada cikal
bakal benih yang dapat beregenerasi.
TUREN: BATU YANG TERTINGGAL
Pada awal-awalnya dahulu dukuh ini belum
bernama Turi atau Turen seperti sekarang. Nama Turen diambil dari sebuah
peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1900, puluhan tahun sejak dukuh ini ditinggali.
Peristiwa tersebut tepatnya berada atau terjadi di pusat dukuh yang selanjutnya
menjadi cikal bakal dukuh ini bernama Turen.
Kehidupan dukuh ini berlangsung
normal-normal saja selama puluhan tahun. Pada suatu pagi hari ketika matahari
pagi akan semburat di ufuk timur, ada kejadian yang mengejutkan seluruh
penduduk. Ada sebuah batu berbentuk seperti piramid berundak mirip batu candi
berada di pusat desa, padahal sore harinya tidak ada batu tersebut dan juga
tidak ada seseorang pun yang masuk dukuh dengan membawa batu tersebut.
Batu tersebut langsung menjadi tontonan
penduduk dukuh hingga berita ini sampai tersebar ke luar dukuh. Saat itu
merupakan masa-masa penjajahan dan semua penduduk hidup pas-pasan, salah satu
penduduk membawa batu tersebut dengan niat menjualnya. Dijualnya batu ini sama
sekali tidak mendapat pertentangan dari penduduk yang lain secara langsung
meskipun penduduk yang membawa batu untuk dijual ini bukanlah penduduk asli
dukuh melainkan penduduk yang berasal dan tinggal dari luar dukuh, itu karena
yang membawa batu tersebut adalah orang yang berpangkat. Tidak berselang lama
setelah batu ini dijual oleh penduduk tadi, kejadian yang mengejutkan kembali
terjadi, yaitu penduduk yang menjual batu ini dan yang merupakan orang
berpangkat ini tiba-tiba sakit dan meninggal dunia.
Kejadian ini memicu kesimpulan-kesimpulan
di kalangan penduduk dukuh. Banyak penduduk yang berkesimpulan bahwa orang itu
meninggal karena kualat berani menjual batu malati yang sedang singgah di
dukuh. Kesimpulan ini yang akhirnya berkembang dan menyebabkan tempat atau
kawasan ditemukannya batu tersebut sebagai Turen atau kependekan dari Watu
Leren (batu yang beristirahat).
Sementara itu, di lain sisi kejadian ini
diiyakan oleh beberapa orang dari ilmu kebatinan. Menurut mereka kejadian ini
memang benar terjadi, tapi ada sedikit detail yang salah. Batu yang ditemukan
tiba-tiba di pelataran sebuah rumah di pusat dukuh tersebut bukanlah batu yang
sedang singgah atau leren. Batu tersebut adalah batu yang jatuh dan tertinggal
ketika pencurian salah satu bangunan candi yang melewati dukuh tersebut. Pencurian
tersebut dilakukan dengan menyuruh jin lelembut yang langsung menggotong satu
bangunan besar tersebut, namun ketika sampai di tengah jalan yaitu di atas
dukuh ini ada jin lelembut lain yang berusaha menggagalkan pencurian itu dan
mengakibatkan sebuah batu yang juga merupakan bagian bangunan menjadi jatuh dan
tertinggal di dukuh tersebut. Singkat cerita, kejadiannya setelah itu adalah
batu yang tertinggal tersebut justru malah dijual oleh seseorang dimana orang
tersebut akhirnya dibalas oleh beberapa makhluk halus yang ditugaskan untuk
mengejar pencuri bangunan candi tersebut. Meskipun tidak merubah nama, namun
sebenarnya atau lebih tepatnya Turen itu bukan berarti Watu Leren
(beristirahat) namun Watu Keren/Watu Keri (tertinggal).
TUREN: TEMPAT TIDURNYA SEMAR
Turen berasal dari kata Turan, yang
berarti tiduran. Seperti kata Keturan yang berarti ketiduran. Turan di sini
memiliki arti tiduran, beda dengan Turu yang berarti tidur. Tiduran itu masih
sadar namun dalam posisi tidur atau dengan kata lain rebahan.
Turen atau Turan atau Turon, ini nama yang
disematkan untuk tempat yang digunakan tiduran. Penyematan ini mengingat pada
mulanya tempat ini memiliki tanah yang lebih tinggi dibandingkan tanah
disekitarnya atau dengan kata lain tempat ini merupakan gundukan tanah. Gundukan tanah
dan seketiranya ini masih berupa hutan lebat, ditumbuhi tanaman-tanaman dan
harus dibabat lebih dahulu. Pada awalnya pembabatan dilakukan hanya di selain
gundukan ini, agar memudahkan pengairan karena akan dijadikan sebagai persawahan
padi. Namun setelah sekitar gundukan ini berhasil dibabat seluruhnya dan
kawasan ini berhasil dipetakan, maka tidak disangka gundukan ini berbentuk
seperti perwujudan Penembahan Ismaya atau yang lebih dikenal sebagai Eyang
Semar Badranaya. Bahkan sampai dengan saat ini bekas gundukan yang menyerupai Semar tersebut masih dapat di lihat melalui foto udara dari atas dukuh.
Beberapa orang pada waktu itu menganggap
jika kawasan ini pernah digunakan tiduran oleh Panembahan Ismaya atau Mbah
Semar. Maka dari itu, penamaan Turen sendiri diambil dari kata Turan yang
berarti tiduran, yaitu tempat tiduran bagi Bethara Ismaya atau Mbah Semar.
Dukuh Turen memiliki
asal-usul yang berbeda-beda tiap sumber. Namun bisa jadi setiap sumber tersebut
sama-sama benarnya, karena jika dilihat keseluruhan sejarah tersebut maka
sebenarnya dapat ditarik satu garis lurus yang menghubungan ketiga cerita
tersebut. Sehingga yang terjadi yaitu ada perubahan-perubahan nama pada saat
terjadi peristiwa-peristiwa tersebut; dari Turi menjadi Turan kemudian berubah
ke nama Turen seperti yang dikenal saat ini. (Keseluruhan isi artikel ini ditulis dalam buku berjudul: Ndalem Ladi Rahardjan
- Delanggu)
Thanks for reading Sejarah Dukuh Turen (Turen Tlobong Delanggu).
0 Komentar:
Post a Comment
Kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan artikel tersebut.